FDI Confidence Index 2012: Indonesia Naik ke Peringkat 9

Arus investasi langsung atau foreign direct investment (FDI) telah menjadi pendorong utama ekonomi global. Keberhasilan Indonesia masuk di antara sepuluh besar negara-negara dengan peringkat tertinggi di FDI Confidence Index 2012 diperkirakan akan menjadi sinyal arus masuk FDI di masa depan.

ATKearney.jpg

A.T. Kearney melalui FDI Confidence Index 2012 mengkaji prospek masa depan untuk arus FDI sebagai usaha dunia untuk pulih dari resesi global dan ketidakpastian ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat.

Sedikit kejutan dari FDI Confidence Index 2012 adalah perubahan peringkat yang positif dan signifikan dari negara-negara pasar berkembang, mengingat gejolak ekonomi yang sedang terjadi di negara maju.

Cina, India, dan Brazil mengambil tiga posisi teratas, dan negara-negara Asia Tenggara, yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam meraih peringkat tinggi.

Indonesia adalah satu negara yang mengalami perubahan signifikan tahun ini, bergerak dari peringkat ke-20 menjadi ke-9. Arus masuk FDI ke Indonesia adalah USD 13 miliar pada tahun 2010 atau 160 persen lebih tinggi dari tahun 2009. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan ekonomi yang kuat, pasar konsumen yang besar, dan sumber daya alam yang berlimpah.

2012 FDI Confidence Index.jpg

Waktu dan lokasi investasi baru akan memainkan peran utama dalam lanskap ekonomi masa depan global. Pasar negara berkembang yang siap untuk mendapatkan keuntungan dari sebuah pemulihan FDI. Mereka menarik investasi pada kemampuannya sendiri, dan yang paling penting adalah memiliki pasar konsumen yang besar dan masih akan terus berkembang

Sementara itu, pertumbuhan ekonomi negara maju diperkirakan masih akan lambat dan terbelit dengan krisis utang. Para investor dari negara maju mencoba untuk melakukan reorientasi dalam lanskap ekonomi baru, berinvestasi di pasar luar negeri akan membuktikan bagian penting dari sebuah pemulihan ekonomi global.

Wilayah Asia Pasifik tetap menjadi tujuan utama bagi investor, dan berhasil menarik sekitar seperlima global FDI di tahun 2010. Cina yang didukung oleh pertumbuhan yang kuat dan stabilitas politik menduduki peringkat pertama, dan India bergerak naik tempat ke tempat kedua. Asia Tenggara melakukan sangat baik di belakang arus masuk melonjak, dengan lima negara ekonomi utama di peringkat 20 besar.

Pasar negara-negara berkembang telah melampaui negara-negara maju dalam hal arus masuk FDI, menyerap lebih dari setengah dari arus masuk FDI global untuk pertama kalinya dalam sejarah. Temuan dari A.T. Kearney FDI Confidence Index 2012 menunjukan bahwa tren arus masuk FDI di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya baru saja dimulai dan kemungkinan akan terjadi percepatan selama tiga tahun ke depan dan mungkin seterusnya.

Source: A.T. Kearney

http://www.financeindonesia.org/showthread.php?3338-FDI-Confidence-Index-2012-Indonesia-Naik-ke-Peringkat-9

Investasi di Indonesia Paling Prospektif

Indonesia kian memesona di mata investor. Ini tecermin dari credit default swap yang mengukur persepsi investor asing terhadap risiko berinvestasi di Indonesia yang semakin melandai. Pergerakan CDS surat utang Indonesia untuk semua tenor melandai, jauh di bawah rata-rata selama satu tahun terakhir.

CDS tenor lima tahun, misalnya, kini berada di posisi 133,25. Angka itu jauh di bawah level rata-ratanya dalam setahun terakhir, 141,044, apalagi dibandingkan dengan posisi tertinggi tahun 2011 yang mencapai 163,74. Demikian juga CDS untuk utang berjangka waktu satu, tiga, tujuh, dan sepuluh tahun.

Pada saat CDS tergerus, aliran dana asing (capital inflow) yang masuk ke instrumen pasar keuangan Indonesia makin kencang. Sampai akhir pekan lalu (28/7/2011), duit investor asing yang parkir di Surat Berharga Negara (SBN) Rp 247,5 triliun atau 25,3 persen dari total SBN yang dapat diperdagangkan.

SBN tumbuh 26,9 persen selama tahun ini atau naik Rp 12,5 triliun selama Juli 2011. “Satu bulan ini, investor asing lebih banyak menyerbu obligasi ketimbang saham,” kata Lana Soelistianingsih, ekonom Samuel Sekuritas, Senin (1/8/2011).

Dana asing di bursa saham serta Sertifikat Bank Indonesia juga terus menanjak. Indeks harga saham gabungan, Senin, menembus rekor tertinggi sepanjang sejarah di posisi 4.193,44, sedangkan rupiah mencapai Rp 8.464 per dollar AS. “Di kelompok emerging market tidak ada yang semenarik Indonesia,” ujar Stefanus PS, pengamat pasar modal UOB Kay Hian Securities.

Selain faktor yield yang menarik, prospek ekonomi Indonesia menjadi penarik terbesar minat investor asing. Ekonom Mirza Adityaswara menunjukkan, indikator makroekonomi Indonesia masih jauh lebih baik ketimbang Amerika Serikat dan Eropa. Terlebih jika inflasi terjaga stabil hingga akhir tahun. Tanpa kenaikan bahan bakar minyak, inflasi hingga tutup tahun, dalam hitungannya, akan berkisar antara 5 persen dan 5,5 persen.

Dengan situasi ini, ia memprediksi porsi dana asing bisa mencapai 40 persen dari seluruh dana yang berputar di SBN pada akhir tahun ini. “Di saham, asing akan merambah ke saham berkapitalisasi kecil,” tutur Mirza.

A Prasetyantoko, ekonom Universitas Atmajaya, menambahkan, ekses likuiditas di pasar global masih besar. Indonesia menjadi pilihan di antara emerging market saat motor-motor ekonomi dunia, seperti AS, Eropa, dan Jepang, belum stabil.

Lana menimpali, jika kemelut utang tidak berakhir dengan kebijakan penyelesaian yang jelas dan tuntas, AS tetap terbebani ketidakpastian tingkat tinggi. Namun, jika yang terjadi sebaliknya, aliran dana asing ke Indonesia berpeluang melambat. “Perkiraan saya, kuartal IV-2011 ada penurunan dana asing jika ekonomi AS membaik,” kata dia.

Lana memprediksi, dana asing di SBN per akhir 2011 bisa turun jadi Rp 140 triliun-Rp 160 triliun.(Wahyu Satriani, Adisti Dini, Ruisa Khoiriyah/Kontan)

Antisipasi Krisis, Segera Beralih ke Reksa Dana Campuran

Bagi investor yang menanamkan dananya pada instrumen investasi reksa dana disarankan mereposisi portofolionya. Saat krisis Eropa belum juga mereda dan berpengaruh ke pasar finansial, menjadikan fluktuasi pasar menjadi lebih intensif.

Hal ini menjadikan dana kelolaan reksa dana saham, dalam jangka pendek berpotensi turun akibat gonjang-ganjing pasar. Solusinya adalah memindahkan sebagian portofolio saham ke instrumen lain secara merata.

“Pasar finansial di 2012, kalau kita melihat lebih dalam untuk memitigasi risiko ke balance fund. Lebih support portofolio,” ucap Manager Mutual Funds Sales PT Schroder Investment Management Indonesia, B.E. Iriawan Djaja, saat berbincang dengan detikFinance, di Jakarta, Jumat (9/12/2011).

“Pembagian aset lebih merata. Ada saham, obligasi, pasar uangnya juga ada,” tambahnya.

Saat pasar bergolak, nilai investasi saham pun cenderung turun. Saat investor memilih reksa dana campuran, penurunan nilai investasi tidak sedalam mereka yang memegang reksa dana saham.

“Nasabah jangan serakah. Hanya semata melihat return, tapi memitigasi risiko. Yaitu di reksa dana campuran,” tutur Bonny.

Hingga November, berdasarkan data Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) reksa dana saham masih mendominasi portofolio industri. Total NAV reksa dana saham mencapai Rp 60,906 triliun. Kemudian disusul reksa dana terproteksi Rp 40,903 triliun dan reksa dana pendapatan tetap Rp 24,82 triliun.

Sisanya, tersebar pada beberapa jenis reksa dana diantaranya pasar uang Rp 8,846 triliun, reksa dana campuran syariah Rp 1,55 triliun, reksa dana saham syariah Rp 1,017 triliun dan reksa dana terproteksi syariah Rp 540,053 miliar, juga beberapa lainnya berjenis Exchange traded fund (ETF).

http://finance.detik.com/read/2011/1…-dana-campuran

Industri Reksa Dana Masih Dibayangi Krisis Eropa di 2012

Industri reksa dana di 2012 masih dibayang-bayangi kekhawatiran atas penyelesaian krisis Eropa, dan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat yang tetap lambat. Meski demikian total dana kelolaan reksa dana diprediksi tetap tumbuh, namun tidak sedrastris tahun ini.

“2012, banyak atau sedikit market masih akan terpengaruh flluktuasi jangka pendek, penyelesaian krisis EU dan AS,” kata ketua umum Asosiasi Pengelola Reksadana Indonesia (APRDI), Abiprayadi Riyanto kepada detikFinance, di Jakarta, Jumat (9/12/2011).

Meski pengaruh krisis tetap membayangi, dana kelolaan industri reksa dana diprediksi meningkat. Pasalnya, tetap saja masyarakat melakukan investasi jangka panjang. Dan reksa dana adalah pilihan yang tepat, dibanding instrumen investasi lain macam deposito.

“Tumbuh pasti, namun tidak akan sebesar 2011. Karena fund manager pasti memiliki target meningkatkan dana kelolaan. Investor dengan generate cash, perlu investasi lebih,” tutur Manager Mutual Funds Sales PT Schroder Investment Management Indonesia, B.E. Iriawan Djaja.

Pria yang sering disapa Bonny, mengaku, investor di pasar finansial dunia masuk fokus pada penyelamatan krisis Eropa. Sehingga, pergerakan industri terkait, seperti halnya reksa dana juga terpengaruh akan Eropa.

“Meski fokus pada penyelamatan Eropa, investor tentu semakin pintar dan memiliki horizone jangka panjang. Dan mereka membutuhkan outlet, pilihan terbaiknya adalah reksa dana,” tuturnya.

Kinerja Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksa dana tahun ini pun diprediksi tidak mampu menembus angka yang sama di 2011, yang mencapai Rp 170,9 triliun. Hingga November saja, NAB industri masih bergerak dikisaran Rp 157,76 triliun. Pergerakan NAB tahun ini tidak seprogresif tahun lalu. Wajar saja, 2010 menjadi tahun keemasan pasar keuangan dengan laju indeks yang hampir 47% dalam 12 bulan.

http://finance.detik.com/read/2011/1…-eropa-di-2012

According to IMF, Indonesia’s Economic Growth is More Balanced

Dec. 6 (Bloomberg) — Milan Zavadjil, the International Monetary Fund’s senior resident representative in Indonesia, comments on growth, investment and commodity prices at a forum in Jakarta today.

On economic growth:

”We expect the economy may grow 6.3 percent next year, the same as the central bank forecast. Investment is picking up strongly. Growth is not only strong, but it is getting more balanced. Not just consumption, but investment.”

On foreign investment and exports:

”It depends on global conditions. I can’t see foreign investment slowing down, unless there is a very bad situation in the world economy. The good news is commodities – even as global economic risks increase, commodity prices are staying quite strong, especially coal and palm oil. But if you have a very bad slowdown, then clearly Indonesia’s exports are going to be affected.”

On Indonesia’s main challenge in 2012:

”Indonesia has a great need for infrastructure. It needs to accelerate spending to support growth. Otherwise you could have bottlenecks. I think the lack of spending on infrastructure is a risk for growth. Indonesia needs to focus on roads and ports to improve connectivity. The government has a good master plan, but implementation of the master plan is what’s needed.”

http://www.businessweek.com/news/201…djil-says.html

MORE: Indonesia Raised to Investment Grade by Fitch

Dec. 15 (Bloomberg) — Indonesia regained investment grade rating for its sovereign debt at Fitch Ratings after 14 years, as Southeast Asia’s largest economy withstands faltering global growth and contains borrowings. The country’s long-term foreign and local currency debt was raised to BBB– from BB+, Fitch said in a statement today. The outlook on both ratings is stable. Indonesia lost the investment grade rating in December 1997, during the Asian financial crisis.The rating puts the nation on the same level as India. “The upgrades reflect the country’s strong and resilient economic growth, low and declining public-debt ratios,strengthened external liquidity and a prudent overall macro policy framework,” Philip McNicholas, director in Fitch’s Asia-Pacific Sovereign Ratings group, said in the statement.
Indonesia’s standing with rating companies has improved as President Susilo Bambang Yudhoyono targets growth of as much as 6.6 percent on average through the remainder of his term ending in 2014, pledging to spur investment and reduce the budget deficit. The country’s economy, which avoided the contraction that neighbors Singapore, Malaysia and Thailand suffered during the 2009 global slump, has expanded more than 6 percent this year even as Europe’s debt crisis threatens Asian exports. “This doesn’t give us immunity,” Helmi Arman, an economist at Citigroup Inc. in Jakarta, said after Fitch released the announcement. “But they’re going to have a broader investor base in the market because of this move. It will certainly improve our resilience.”

Rupiah Performance

The rupiah has outperformed every Asian currency except the Japanese yen, Chinese yuan and the Hong Kong dollar this year, and Indonesia’s benchmark stock index is the fourth-best performer in the region. The currency slid 0.04 percent to 9,090 a dollar as of 4:42 p.m. Jakarta time today, according to prices from local banks compiled by Bloomberg. Government bonds gained earlier today. The yield on the 8.25 percent note due July 2021 declined four basis points, or 0.04 percentage point, to 6.25 percent, according to midday prices from the Inter-Dealer Market Association. It reached 6.06percent on Dec. 6, the lowest since the securities were sold in July last year.
Demand for Indonesian bonds will increase following Fitch’s move, Rahmat Waluyanto, director general at the finance ministry’s debt management office, said in Jakarta today. Capital inflow, especially foreign direct investment, will likely increase, he said in a mobile-phone text message.

‘Waited a Long Time’

“We’ve waited for this upgrade for a long time, in line with our effort to implement consistent and careful economic policies,” Hartadi Sarwono, deputy governor at the central bank, said in a mobile-phone text message in Jakarta today. “Indonesia’s economic prospects will be better with lower risk and borrowing costs, supporting financing of economic activities.” Moody’s Investors Service raised the nation’s rating in January to Ba1. In April, Standard & Poor’s increased Indonesia’s long-term foreign-currency rating one level to BB+ from BB, with a positive outlook. The ratings are one level below investment grade. Indonesia’s performance contrasts with that of European nations, whose borrowing costs have soared as the debt crisis deepened.

European Union

European Union leaders agreed at a Dec. 8-9 summit in Brussels to tighter control of tax and spending by governments that overstep the bloc’s deficit limit of 3 percent of gross domestic product. They also pledged a faster start to a 500 billion-euro ($659 billion) rescue fund. Standard & Poor’s and Moody’s Investors Service are reviewing the agreement and its implications for credit ratings on euro countries.
Fitch projects Indonesia’s GDP growth will average more than 6 percent per annum over the period to 2013, it said in today’s statement. “Indonesia’s domestically-oriented economy and success in delivering relatively strong economic growth without the creation of external imbalances, or a reliance on short-term external financing suggests economic growth prospects should prove resilient to external shocks, as was the case in 2008,” Fitch said. “Low public debt and positive real interest rates give the authorities policy flexibility to respond to any slowdown.”

http://www.financeindonesia.org/showthread.php?3336-MORE-Indonesia-Raised-to-Investment-Grade-by-Fitch

Further Ratings Upgrades Likely in 2012: Indonesia Minister

Indonesia‘s Trade Minister Gita Wirjawan said the government has “good indicators” that ratings agencies Standard and Poor’s and Moody’s will follow Fitch’s lead and upgrade the country’s sovereign debt ratings to investment grade by early 2012.

Wirjawan, who was previously the Chairman of Indonesia’s Investment Coordinating Board, told CNBC, Fitch’s upgrade on Thursday would help the country achieve its gross domestic product (GDP) growth target of 6 to 6.5 percent for 2012 and boost capital flows and foreign direct investment (FDI).

“The upgrade is very important and it definitely will give a positive impact for Indonesia’s investment and trade,” he said. Wirjawan, also believes it will help lower the government’s cost of borrowing.

Asked about criticism of the slow pace in improving infrastructure in Indonesia, the Trade Minister said the country had taken a big step on Friday when parliament passed a land acquisition law.

“This new law will kick-start road, port and power-plant construction projects that are stuck as the land owners refuse to give up their land,” he added.

Wirjawan, who was appointed trade minister in October, takes over at a delicate time when growth in developed markets is slowing and the risks to Asia’s exports are rising from Europe’s debt crisis.

Given the risks of an EU recession, Wirjawan said the government would try and diversifying its target markets for exports to Africa, Latin America, Middle East, and Central and Eastern Europe.

CNBC

KEN: Perekonomian RI Akan Tumbuh 6,3%-6,7%

Komite Ekonomi Nasional meyakini perekonomian Indonesia masih akan tumbuh di tengah ketidakpastian ekonomi global tahun depan. Namun, prospek cerah tersebut dihantui sejumlah tantangan dan risiko yang perlu ketepatan langkah antisipatif.

Chairul Tandjung, Ketua Komite Ekonomi Nasional (KEN), memperkirakan perekonomian Indonesia akan tumbuh sekitar 6,3%-6,7% pada tahun depan. Namun, akselerasinya dibayangi sejumlah tantangan dan risiko eksternal, terutama krisis utang Eropa yang bisa memperburuk kondisi ekonomi global.

“Gejolak di pasar keuangan dunia dan resesi di kawasan Eropa berpotensi mengganggu perekonomian Indonesia,” ujar dia dalam acara paparan Prospek Ekonomi Indonesia 2012, hari ini.

Risiko global tersebut, kata Chairul, dapat berimbas pada pertumbuhan ekspor Indonesia yang menurun akibat pelemahan permintaan dunia. Hal ini patut diwaspadai oleh pemerintah karena bisa menggerus surplus transaksi berjalan dan akumulasi cadangan devisa.

Selain itu, lanjutnya, ancaman kekeringan likuditas valas, terutama dollar AS dan Euro,juga perlu diwaspadai karena akan berpengaruh terhadap ketersediaan pinjaman dan likuiditas di sektor perbankan maupun non-perbankan.

“Antisipasi terhadap mismatch dalam mata uang ini harus diperhitungkan oleh BI, pemerintah maupun para pelaku bisnis.”

KEN dalam paparannya juga menyoroti peran fiskal yang terus merosot dalam beberapa tahun terakhir. Hal itu tercermin dari surplus kas pemerintah yang mengendap cukup besar di Bank Indonesia, yang per Oktober lalu mencapai Rp243 triliun. Sementara uang pemerintah yang menumpuk di perbankan nasional per September sebesar Rp58,5 triliun.

“Bila pada akhir tahun tersisa uang di BI sebesar Rp100 triliun, maka kita kehilangan potensi pertumbuhan tambahan sekitar 0,7% (pada 2012),” jelas Bos CT Corps tersebut.

Tantangan lain yang juga jadi catatan KEN adalah lambannya pembangunan infrastruktur dasar yang mengganggu iklim investasi dan menggerus daya saing Indonesia, tingkat kepercayaan pelaku bisnis dan mayarakat yang rentan tergerus, serta ketimpangan ekonomi yang belum tertangani.

Pada kesempatan tersebut, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofyan Wanandi menilai lokomotif pertumbuhan ekonomi Indonesia merupakan dunia usaha, sedangkan peran fiskal yang dikelola pemerintah tergolong kecil.

Kendati positif, tetapi pertumbuhan Indonesia diwarnai kesenjangan ekonomi akibat sektor jasa dan industri berbasis sumber daya alam lebih mendominasi ketimbang industri padat karya.

“Saya tidak setuju setiap 1% pertumbuhan ekonomi mampu menyerap 450.000 tenaga kerja, saya tidak percaya. Pengangguran dan kemiskinan merupakan ‘pekerjaan rumah’ yang belum tertangani oleh pemerintah,” katanya.

Namun, Sofjan menilai bukan tidak mungkin semua itu teratasi dengan baik jika sistusi politik mendukung kinerja perekonomian. Untuk itu, dia menyarankan agar politisi jangan hanya fokus pada urusan politik saja, tetapi perlu bersinergi dengan pemerintah dan dunia usaha dalam mengantisipasi berbagai risiko ekonomi yang menghantui dari luar.

“Saya paling takut dengan sistem politik dan keamanan saat ini. Pada situasi krisis (ekonomi) seperti sekarang, politisi tidak mau tahu dan saling menghujat, dan masyarakat terhasut. Saya bingung dengan yang diributkan DPR. Politisi harus berpikir juga apa yang harus diperbuat, bukan hanya politik saja,” tuturnya.

Dia menambahkan penciuatan pasar dunia akan mendorong masukan barang-barang luar negeri ke Tanah Air. saat ini saja, diperkirakan 20%-30% peredaran barang asing di Tanah Air terindikasi ilegal.

“Politisi harus bersinergi dengan pemerintah dan dunia usaha, (pikirkan) jangan sampai pasar domestik diambil asing. Kami perushaan-perusahaan dalam negeri sepakat, kalau mau investment grade, maka harapkan dulu dari dalam negeri, jangan asing,” jelasnya.

Menanggapi semua itu, Menteri Koordinator bidang Perekenomian Hatta Rajasa memastikan pemerintah akan berusaha menjaga momentum pertumbuhan ekonomi tidak terganggu dengan berbekal APBN 2012 dan sejumlah regulasi pendukung. Peran fiskal pada 2012 diupayakan lebih baik dari tahun ini, sejalan dengan disahkannya Undang-Undang Pengadaan lahan Untuk Kepentingan Publik dan akan direvisinya Peraturan Presiden No.54/2010 tentang Pengadaan barang dan Jasa pemerintah.

“Aturan pengadaan barang dan jasa selama ini berbelit-belit. Pemerintah akan merevisi lebih cepat, tanpa menghilangkan akuntabilitas,” tegasnya.

Pemerintah, kata Hatta, menyadari akan ada koreksi terhadap pertumbuhan ekspor Indonesia pada tahun depan, lebih rendah 0,1%-0,2% dari pencapaian tahun ini. Sementara investasi hanya akan tumbuh 9%, lebih rendah dari pencapaian 2011 dan harapan awal pemerintah yang dua digit. Kendati demikian, pemerintah masih optimistis perekonomian secara umum masih akan tumbuh 6,5%-6,7% pada 2012.

“Ekspor (2012) akan sedikit terganggu. Kami perlu melakukan diversifikasi market. Untuk itu kami sudah persiapkan konektivitas menggunakan dana-dana pementh, menyederhanakan tata niaga. Intinya tidak boleh ada daerah yang melarang masuknya barang dari wilayah lain,” tegasnya.

Asumsi makro lainnya, kata Hatta, yang jadi tantangan dan berisiko terdeviasi adalah harga minyak mentah (ICP) dan produksi (lifting) minyak. Menurutnya, setiap kenakan ICP US$1 per barel dia tas asumi, akan meningkatkan beban subsidi sekitar Rp2 triliun.

Hatta menekankan bahwa investment grade merupakan peluang bagi Indonesia untuk mengakselerasi pembangunan lebih baik lagi. Aliran modal asing yang akan deras masuk perlu dimanfaatkan, terutama oleh BUMN dan swasta melalui proses penawaran saham di lantai bursa.

http://www.financeindonesia.org/showthread.php?3401-KEN-Perekonomian-RI-Akan-Tumbuh-6-3-6-7

Global Investment Banks return to Indonesia

Global financial groups including Goldman Sachs and Morgan Stanley are ramping up their presence in the burgeoning Indonesian market.

Goldman Sachs, which does not have an office in Jakarta, is in talks to buy Tiga Pilar Sekuritas, a small Jakarta brokerage, which will secure it a securities licence to buy and sell equities for clients and also an underwriting licence to underwrite equity offerings in Jakarta.

Morgan Stanley, which already holds a licence as well as an office in the Indonesian capital, plans to expand its operations and has been hiring aggressively.

It is not only western banks that are looking to boost their presence. Bank of China has long been interested in buying a bank in the country, while ICBC continues to build up its branch network in Indonesia. At the same time, Japanese banks are also seeking new growth opportunities in Indonesia, especially in consumer finance.

While most markets dipped into the red this year, the Jakarta Composite has been the best performer in Asia and is up 4.5 per cent, after a gain of 45 per cent in 2010. Indonesia’s solid economic performance, stable politics, high yields and abundant resources have attracted record capital inflows: with $16.1bn flowing into the country last year, twice the level of five years ago and almost four times the amount of a decade ago. It is expected to hit $20bn in 2011.

Korean, Indian, Japanese and Chinese companies are all trying to secure access to coal and palm oil. Chinese companies in particular are trying to do deals that promise help in building roads and ports in return for guaranteed supplies of coal.

Newcomers will have a tough time making inroads, in the face of competition from international firms such as Credit Suisse, which remained in Indonesia when others pulled out. Credit Suisse is helped by the fact that the head of its investment bank in New York, Eric Varvel, was based in Jakarta during the Asian financial crisis in the late 1990s. In addition, its co-head of investment banking for the entire region, Helman Sitohang, is a local.

Newcomers will also find that locally entrenched brokerages, particularly the state-owned securities companies such as Mandiri Securities and Danareksa, are fierce competitors, in contrast to state-owned groups elsewhere. They have many advantages including an ability to win business from the state-owned companies that dominate many sectors of the Indonesian economy, and close relations with the regulators. Local business flows have become far more interesting as international investors snap up local currency bonds, and rights offers and initial public offers from local Indonesian companies.

Spokesmen for Goldman Sachs and Morgan Stanley declined to comment.

http://www.ft.com/intl/cms/s/0/5502d…#axzz1ediGMhwK

Dirut BNI: 2012, Bisnis Perbankan Masih Oke

Pertumbuhan bisnis perbankan pada 2012 diyakini akan tetap baik meski krisis global semakin membayangi.

Salah satu pendorong baiknya pertumbuhan perbankan di 2012 adalah adanya proyek Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). “Kinerja perbankan akan lebih terdorong lagi apabila MP3EI berjalan secepatnya,” ucap Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Gatot M Suwondo di Jakarta, Senin (12/12).

Lebih jauh Gatot menuturkan, perekonomian Indonesia akan tumbuh 6,5% di 2011. Sementara pada 2012 pertumbuhan ekonomi berkisar 6,4-6/7%. “Ekonomi ke depan akan mendorong perbankan, di mana bank akan ikuti perkembangan sektor riil,” tuturnya.

Menurut Gatot, perbankan sampai Kuartal III 2011 telah menunjukkan fungsi intermediasinya dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari rasio pinjaman terhadap simpanan (loan to deposit ratio/LDR) yang meningkat signifikan dalam 10 tahun terakhir. “Pada tahun 2000, LDR perbankan 35 persen, tapi kini LDR perbankan mencapai 81,36 persen di kuartal III 2011,” ujarnya.

Dari sisi kredit, pada kuartal III 2011 tumbuh 25,3% year on year (yoy) dan DPK tumbuh 18,7% yoy. Penyaluran kredit tersebut masih didominasi oleh kredit produktif yang pertumbuhannya 26% yoy, sedangkan kredit konsumsi tumbuh 23,7 yoy.

Pertumbuhan kredit produktif ditopang oleh kredit investasi yang pada kuartal III 2011 tumbuh 31,1% yoy dan dan kredit modal kerja yang naik 24%. “Ini menunjukkan peran perbankan dalam mendorong usaha produktif. Juga bisa dilihat dengan lebih agresif membuka cabang untuk menjangkau masyarakat dan menyebabkan tingginya BOPO (beban operasional terhadap pendapatan operasional),” paparnya.

Sementara rasio kecukupan modal (CAR) di atas level minimum 8%, mencapai 16,6%. Dari sisi kredit bermasalah (NPL) turun dari 2,96% menjadi 2,67%, dan return on asset (ROA) naik dari 2,9% menjadi 3,1%. “Total modal juga meningkat 30% menjadi Rp301,3 triliun ditopang laba operasional berjalan,” katanya.

Gatot bahkan menyatakan, seharusnya dengan kondisi perekonomian seperti ini Indonesia sudah bisa masuk kategori investment grade sejak tahun 2011. “Dilihat dari outlook masih baik dan memberi sentimen positif. Menurut hemat saya, kita sudah bisa masuk investment grade tahun ini,” tegasnya. [mre]

http://ekonomi.inilah.com/read/detai…nkan-masih-oke